HERMENEUTIKA DALAM AL-QUR'AN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian teks dalam studi Islam merupakan salah satu
bagian penting yang perlu mendapatkan perhatian. Sebagai sebuah teks, al-Qur‘an
dinilai terbatas sedangkan problem sosial kemanusian selalu berubah-ubah tanpa
batas. Karena itu, di era modern kontemporer, al-Qur‘an harus ditafsirkan untuk
menjawab problem tuntutan zaman. Menafsirkan al-Qur‘an berarti upaya untuk
menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur‘an. Karena objek
tafsir adalah al- Qur‘an yang merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus
petunjuk bagi manusia, maka bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan,
bahkan lebih dari itu, penafsiran terhadap al-Qur‘an merupakan suatu keharusan.
Sejumlah pemikir muslim kontemporer yang
ingin memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti ilmu
tafsir al-Qur‘an. Gagasan perlunya penerapan metode
hermeneutika dalam studi al-Qur‘an ini begitu marak.
Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana muslim kontemporer, baik di
negara-negara Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di
Indonesia.
Dewasa ini di kalangan kaum muslimin - terutama kaum
modernis telah banyak memanfaatkan Hermeneutika sebagai salah satu instrumen
untuk menggali isi dan kandungan al Quran. Penggunaan hermeneutika dalam dunia
penafsiran al-Qur'an adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para
mufassir terdahulu. Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat
al-Qur'an mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan
muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu
hermeneutika?
2.
Apa saja
karakteristik dan prinsip hermeneutika?
3.
Bagaimana
penggunaan dan peran hermeneutika dalam studi Islam?
C.
Tujuan
Untuk
mengetahui lebih dalam tentang HERMENEUTIKA
DALAM AL-QURAN berdasarkan rumusan masalah diatas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Hermeneutika
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata hermeneutics (Inggris)[1], hermeneuein
(Yunani) yang berarti
menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia secara harfiah dapat diartikan
sebagai penafsiran atau interpretasi.[2] Hermeneutika
sebagai seni menafsirkan mengharuskan tiga komponen, yakni teks, penafsir dan
penyampaian kepada pendengar. Hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti
apa yang diinginkan oleh si pembuat teks tersebut. (Mircea Eliade, 1993:279
dalam Yayan Nurbayan ).
Kata Hermeneutika pada mulanya merujuk pada nama dewa
Yunani Kuno, Hermes yang tugasnya menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa yang
dialamatkan kepada manusia. Hermez diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa
yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap
intelegensia manusia. Di sinilah terjadi mediasi di mana pemahaman manusia
awalnya tak dapat ditangkap lewat intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang)
dipahami. Secara teologis, peran Hermez ini bisa dinisbatkan peran Nabi utusan
Tuhan. Hermez tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam
Al-Qur‘an.
Maka hermeneutika, adalah cara mencapai pemahaman yang
mempunyai fungsi seperti Hermes. Hermeneutika mengusahakan penafsiran dan
bahkan pehamaman antarmanusia, antargenerasi, dan antarbudaya. Artinya, dalam
proses pemahaman, mereka menafsirkan tidak hanya berhadapan dengan fakta,
tetapi juga makna dan realitas yang berdialog serta ikut memengaruhi dirinya.
Hal yang ditafsirkan adalah teks dalam arti luas. Termasuk di dalamnya; pemikiran,
bahasa, tulisan, budaya dan pengalamannya di dalam dunia.
B.
Sejarah dan
Perkembangan Hermeneutika
Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Sejarah
Yunani kuno, hermeneutika
dianggap sebagai sebuah media yang digunakan untuk memahami buku-buku
sastra dan teks-teks keagamaan. Selanjutnya kaum
Yahudi juga memanfaatkannya dalam
rangka menginterpretasi Perjanjian Lama. Pada abad ke-17 kalangan gereja
menerapkan telaah hermeneutika untuk membongkar makna teks Injil karena melihat
hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik. Ketika menemukan
kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu mereka berkesimpulan
bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika. Dalam tradisi Kristen
inilah berkembang wacana hermeneutika dari fase teologi menuju fase rasionalisasi
dan kajian filosofis.
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang, cakupan
hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat sebagai
metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa
diadopsi oleh semua kalangan. Faktanya, sekarang berbagai disiplin ilmu
menyadari arti pentingnya, dan hermeneutika di zaman ini telah masuk ke bidang-
bidang semisal agama (kitab suci), sastra, sejarah, hukum dan filsafat.
Dalam tradisi keilmuan Islam, hermeneutika mulai
mendapatkan apresiasi dari para
sarjana muslim yang melihat beberapa elemen yang dapat dimanfaatkan dari
teori ini, terlebih
ketika ia dihubungkan dalam studi Al-Qur‘an. Namun, dalam
tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk
menafsirkan Al-Qur‘an, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Ilmu
tafsir telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk
menggali kandungan Al-Qur‘an. Beda dengan hermenutika, meski bisa dijadikan
teori, konsep
atau metode, namun ia tidak bisa digunakan sebagai fondasi metodologi yang
kokoh dan
teruji bagi semua kajian keislaman, terlebih ketika bersentuhan dengan
Al-Qur‘an.
C.
Karakteristik
Pendekatan Hermeneutika
Hermeneutika sebagi pendekatan studi agama memiliki 6 (enam)
karakteristik:[3]
1.
Hermeneutika adalah metode
dan seni penafsiran teks secara umum atau kalimat sebagai simbol teks itu.
2.
Hermeneutika adalah metode
yang memadukan dan menggabungkan antara filsafat dan kritik sastra atau
sejarah.
3.
Metode hermeneutika
bertujuan mencari makna yang terkandung dalam teks, namun yang dicari oleh
hermeneut (pelaku penakwilan) bukanlah
makna sederhana atau dangkal, melainkan makna yang bernilai karena terkait
dengan upaya penghargaan atas esensi manusia.
4.
Hermeneutik
adalah metode tafsir individualis sekaligus objekif-idealis dan mengakui
keragaman level metafisika.
5.
Fungsi metode
hermeneutika memiliki pembebasan (liberalisme).
6.
Metode hermeneutika
sebagai salah satu metode kritis-lebih dekat pada spirit metode ilmu-ilmu
fisika.
D.
Tokoh-tokoh
Hermeneutika dan Hasil Pemikirannya
1.
Scehleiermachera
Scehleiermacher menawarkan
sebuah rumusan positif dalam bidang seni dan interpretasi, yaitu rekontruksi
historis, obyektif dua ciri khas ganda, yaitu optimisme, semangat dan subyektif
terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif-historis terhadap
sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif historis, ia bermaksud membahas
sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan. Dengan
rekontruksi subyektif-historis ia membahas awal mulanaya sebuah pernyataan
masuk dalam pikiran seseorang. Scehleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik
adalah memahami teks sebaik atau lebih baik dari pengalamannya sendiri dan
memahami pengarang teks lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami
pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.
Menurut Scehleiermacher,
sebuah karya harus diamati dari dua sisi, yaitu sisi luar dan sisi dalam. Aspek
luar sebuah karya adalah aspek tata bahasa dan kekhasan linguistik lainnya.
Adapun aspek dalam adalah “jiwa” tulisan tersebut. Dalam konteks ini, tugas
hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta
situasinya menurut zamannya, yang harus diserahkan kepada tiga bagian, yaitu
sejarah, tata bahasa, dan aspek kerohaniannya. Korespondensi antara tiga bagian
atau taraf pemahaman itu juga merupakan tiga taraf penjelasannya, yaitu
hermeneutik atas huruf yang menentukan “bahan baku” sebuah teks, hermeneutik
atas makna atau “bentuk” teks, dan hermeneutik atas aspek kejiwaan atau “jiwa”
teks.
Menurut Scehleiermacher, ada
dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu
interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Oleh karenannya, untuk memahami
pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya sebaiuk
memahami kejiwaannya. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut
kiranya tidak mungkin sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana
memenuhi kedua persyaratan tersebut.
2.
Hans-George
Gadamerc
Gadamer secara mendasar
menegaskan bahwa Hermeneutik lebih merupakan usaha memahami dan
menginterprestasi sebuah teks. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan
pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknis atau techne
tertentu, dan berusaha kembali kesusunan tata bahasa, karena techne atau
kunstlehre ( ilmu tentang seni ) inilah maka hermeneutik menjadi sebuah
‘filsafat praktis’, yang juga berarti sebuah ilmu pengetahuan tentang segala
hal yang universal yang mungkin untuk diajarkan.
Pemahaman pada dasarnya
berkaitan dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang
realitas yang kita perbincangkan. Hermeneutik bukan nerupakan kemampuan teknis.
Selanjutnya dalam perkembangannya adaempat factor yang terdapat di dalam
interprestasi hermeneutik adalah:
·
Bildung; juga disebut pembentukan jalan pikiran, ini menggambarkan cara
utama manusia dalam memperkembangkan bakat-bakatnya.
·
Sensus communis; atau pertimbangan praktis yang baik: istilah ini mempunyai
komonitas. Karena sensus communis inilah maka kita dapat mengetahui
hampir-hampir secara interpretasi
·
Pertimbangan; menggolong-golongkan hal-hal yang khusus
atas dasar pandangan tentang yang universal, atau mengenali sesuatu sebagai
contoh perwujudan hukum.
·
Selera; adalah keseimbangan antara insting pancaindra dengan kebebasan
intelektual. Seler dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal-hal
yang kita sukai, serta meyakinkan kita dalam membuat pertimbangan.
Dari semuanya itu, konsep
tentang pengalaman termasuk di dalamnya. Sifat pengalaman adalah personal dan
individu, jadi hanya akan valid jika diyakinkan dan diulangi oleh individu
lain. Hermeneutik model Gademer ini adalah keterbukaan terhadap “yang lain”,
apapun bentuknya, baik sebuah teks, notasi musik maupun karya seni. Hermeneutik
menurut Gademer adalah sungguh-sungguh sebuah seni.
3.
Paul Ricoeure
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika
yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan
sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak
dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek
interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam
mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Konsep
yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna objektif
diekspresikan dari niat subjektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi
yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut
pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian
pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran
teks atau teori tafsir.
E.
Prinsip-prinsip
Paham Hermeneutika
Dunia ini adalah untuk memahami dan menginterpretasi realitas,
Berikut adalah beberapa prinsip faham hermeneutika:[4]
1.
Bila kaum strukturalis
berkonsentrasi pada struktur, kaum hermeneutika berkonsentrasi pada makna.
Makna ada pada bahasa sebuah tradisi. Pandangan ini berbeda dengan pandangan
fenomenologis bahwa makna ada pada kesadaran seseorang.
2.
Bahasa adalah pusat kekuatan
manusia. Menurut Gadamer, ada (being) yang bisa dimengerti adalah
bahasa. Tanpa bahasa tidaklah mungkin memahaminya. Ini mengingatkan kita akan
ungkapan lama zoon logon echon, manusia sebagai makhluk berbicara.
Sesuai pula dengan pepatah Arab al-Insan hayaw an-nathiq.
3.
Hermeneutika menakankan
pemahaman dan komunikasi. Lewat bahasa mereka berupaya untuk mendapatkan
pemahaman berjamaah atau shared view. Kuncinya adalah interpretasi terhadap
teks. Bagaimana memahami problem dalam konteks kita masa kini ihwal sesuatu
yang tertulis dalam teks tradisional yang jauh berbeda dalam ruang dan waktu.
4.
Dalam tradisi hermeneutika,
subjek dan objek tidak dipisahkan tetapi malah terlibat dalam hubungan
komunikatif. Konstruksi makna berdasar pada intersubjektivitas dan dalam
konteks tempat kejadian fenomena. Subjektivitas yang dialami bersama secara
kolektif jauh lebih bernilai daripada kesimpulan subjektif dan idiosinkratik.
5.
Subjek dimaknai demikian
adanya karena dunia bahasa yang mereka gali. Dunia adalah bagian dari bahasa.
Dunia kita dibentuk oleh bahasa. Interpretasi yang baik menyaratkan adanya
keterkaitan (interplay) antar dua konteks. Ini yang disebut Gadamer
sebagai fusion of horizons. Dalam tradisi hermeneutika pemahaman itu
dideskripsi sebagai lived atau existential, yakni teralami
langsung, bukannya pengalaman yang dijaraki (detached) dengan alasan
demi objektivitasnya.
6.
Tujuan akhir dari
hermeneutika adalah pemahaman yang lebih baik atau pemaknaan (sense making)
dari interaksi berbagai konstruksi yang sudah ada, lalu dianalisis agar mudah
dipahami pihak lain, sehingga akhirnya dicapailah sebuah konsensus.
7.
Pemahaman antarbudaya dan
antar zaman seperti halnya pemahaman teks juga, yaitu sebuah dialog lintas
budaya dan lintas zaman. Tidak mungkin ada titik temu pemahaman yang pasti,
sebab masing-masing dibentuk oleh dunia bahasa dan budayanya sendiri. namun
masing-masing dapat berupaya untuk mendapat pemahaman semaksimal mungkin.
F.
Penggunaan
Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an
Setelah mengamati berbagai tulisan dan pandangan para
cendekiawan muslim, perlu diketahui bahwa:[5]
1.
Pertama, Hermeneutika tidak bisa digunakan untuk menafsirkan
al Quran. Hermeneutika lahir dan berkembang dari suatu peradaban dan pandangan
hidup masyarakat
penemunya. Setiap ilmu, konsep atau teori termasuk Hermeneutika,
pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa
yang memiliki peradaban dan pandangan hidup sendiri. Pendapat ini dianut oleh
sebagian besar mufassir. Dalam Islam sumber inspirasi tidak hanya akal. Karena
akal manusia mempunyai keterbatasan. Al Quran banyak menyebutkan peristiwa
yang tidak bisa diterima oleh akal. Dan hal ini tidak pernah terlintas dalam
pemikiran para pakar Hermeneutika. Misalnya ceritera kapalnya nabi Nuh,
nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar, nabi Musa yang dapat membelah laut,
Isra dan mi’rajnya nabi Muhammad SAW dan banyak lagi. Peristiwa-peristiwa
tersebut bukanlah khayalan akan tetapi merupakan khabar shadiq (benar dan tidak
diragukan lagi).
2.
Kedua, hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas
penafsiran dari suatu teks. Teks tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk
ekspresi manusia. Walaupun hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang
berbeda dengan masyarakat yang memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia
bisa digunakan,
tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Suatu peradaban bisa saja mengimport suatu konsep,
tentunya dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut borrowing proses.
Jika modifikasi
konsep ini melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka
perubahan paradigma (Paradigma Shift) tidak dapat
dielakkan.
Selain itu
juga, Implementasi Hermeneutika dalam Islam berbeda dengan
Hermeneutika dalam dunia Kristen. Implementasi
Hermeneutika dalam dunia Kristen digunakan untuk mencari orsinialitas kitab
suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci yang sangat beragam,
sehingga mereka perlu mencari mana dari semua itu yang asli dan paling benar.
Sedangkan penggunaan Hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan
bukan untuk mencari keotentikan teks al Quran, akan tetapi untuk mencari
penafsiran yang paling mendekati kebenaran. Dan kebenaran dari suatu tafsir
hanya Allah yang mengetahui (sehingga seorang mufassir sehebat apapun akan berkata Wallahu
a’lam).
G.
Peran
Pendekatan Hermaneutik dalam Studi Islam
Beberapa pakar Muslim modern mulai menggunakan hermeneutika
untuk memahami al-Qur’an. Mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini
dijadikan acuan dalam memahami al-Qur’an ternyata memiliki berbagai
keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks
semata, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu
dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, misalnya mengandaikan bahwa ilmu
tafsir tidak menempatkan teks dalam dialektika konteks dan kontekstualisasinya.
Teks al-Qur’an akan sulit dipahami oleh berbagai pembaca lintas generasi.
Dengan adanya keterbatasan ini, ditambahkan lagi
dengan mengaitkan fakta bahwa mereka dibatasi dengan segenap aturan normatif,
aturan yang dihubungkan dengan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Seorang
peneliti dibebani dengan syarat harus berakidah yang benar, berakhlak mulia,
bersifat ikhlas, berhati jujur, dan sebagainya. Bila syarat-syarat ini tidak
dipenuhi maka ide penafsirannya tidak diakui.
Hal ini yang
membuat para pemikir kontemporer melihat jika hal ini dibiarkan terus-menerus,
maka umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang dibentangkannya
dibalik ayat-ayat al-Qur’an. Demikian halnya jika metode tafsir selama ini
menempatkan teks sebagai satu-satunya area kajian, maka sudah saatnya segala
unsur empiris-psikologis-kultural yang terlibat dalam pembentukan teks itu
dieksplorasi. Faktor inilah yang ditemukan dalam pembahasan hermeneutika. Maka,
hermeneutika menjadi alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir.
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, ketika asumsi-asumsi
hermeneutika diaplikasikan pada Ulumul al-Qur’an, ada tiga variabel yang
harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks,
sudah jelas ulumul al-Qur’an telah membahasanya secara detail, misalnya
dalam sejarah pembukuan mushaf al-Qur’an dengan metode riwayat. Tentang
konteks, ada kajian asbabul nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya
menunjukkan perhatian terhadap aspek “konteks” dalam penafsiran al-Qur’an.
Tapi, kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka harus ditambah
variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala
logika serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel kontekstualisasi ini
adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami
dan bermanfaat bagi masa sekarang.
Dalam hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong
tangan dalam al-Qur’an. Meski secara tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban
hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami secara
berbeda. Dalam kacamata hermeneutik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya
keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda
tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang
ada. Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu
memang meniscayakan adanya hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab
ketika itu memang menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun,
karena kondisi sosial budaya masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari
hukum potong tangan lebih dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti
dengan hukum penjara, suatu upaya yang secara substantiv sama dalam mencegah
pengulangan kejahatan yang sama.
H.
Pergulatan Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi dalam Hermeneutika
Paul Riceour menyatakan bahwa hermeneutika
bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol
dengan cara membuka selubung-selubung yang
menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya sehingga
dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Menurut Ricoeur,
tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks. Oleh karena itu, pengertian
tentang teks menjadi sangat sentral dalam pemikiran hermeneutika. Kemudian
dengan mengunakan istilah discoursous, Ricoeur membagi bahasa dalam dua
sifat, yakni bahasa sebagai meaning dan bahasa sebagai event. Dimana bahasa sebagai
meaning adalah dimensi non-historis, dimensi statis, sedangkan bahasa sebagai
event adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Untuk konteks inilah artikulasi
discourse dapat bermakna sebagai bahasa lisan dan bahasa tulisan. Pada bahasa
lisan terbentuk komunikasi langsung yang dimana tidak terlalu membutuhkan
metode hermeneutik, sebab apa yang disampaikan masih sangat melekat
kepada penyampainya. Makna dari apa yang disampaikanpun masih bisa dirujuk
langsung pada intonasi maupun gerak isyarat (gestures) dari si
pembicara. Sedangkan teks memiliki kemandirian,
totalitas, yang dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang
terdapat pada-apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses
pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam
bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan.
Sebagai metode penafsiran hermeneutika
tidak saja berurusan dengan teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan
penafsiran teks tersebut membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen
pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian
melakukan upaya kontekstualisasi. Kesadaran
akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
ini dalam ilmu tafsir al-Qur‘an sangat dikenal dalam disimplin kajian Asbab al-Nuzul,
dimana isi dari kajian ini adalah menelaah latar belakang diturunkannya ayat-ayat
al-Quran kepada Nabi. Ilmu tentang asbab al-nuzul memberikan bekal kepada
seorang mufasir mengenai materi teks yang merespons
realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan
yang dialogis dan dialektis antarateks dan realitas. Bahwa asbab al-Nuzul
merupakan salah satu bentuk dari perhatian terhadap
konteks ayat, adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah.
Dengan kerangka pikir yang berlandaskan
konteks ini akhirnya akan terasa wajar jika dalam al-Quran banyak ditemukan
contoh-contoh yang secara spesifik dikenal di wilayah arab, seperti sebuah
peringatan dengan penciptaan untuk dalam QS. Al-Ghasiyah:12 فِىْهَا عَىْنٌ جَارِىَة. Di dalamnya
ada mata air yang mengalir atau dengan keindahan surga yang digambarkan dengan mengalirnya
sungai di bawahnya. Semua itu tentunya gambaran kondisi masyarakat Arab
yang kesehariannya akrab dengan unta dan hanya bisa membayangkan indahnya
sungai dan air yang mengalir. Selain itu berkenaan dengan istilah khamr dalam
QS. Al-Baqarah , banyak penafsir yang mengartikan khamr dalam tersebut
sebagai perasan anggur, tetapi dengan melihat konteks historisnya bahwa ayat
ini turun di Madinah, maka yang biasa dikonsumsi oleh penduduk madinah itu bukan
hanya perasan anggur, tetapi juga perasan kurma, karena tradisi itulah yang ada
di Madinah. Pemahaman akan al-Quran dalam konteksnya
masih belum cukup, karena pemahaman terbatas pada konteks hanya akan
menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak
diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan kontemporer.
Disinilah perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan
makna teks yang dipahami dari suatu wacana dalam konteks tertentu di masa
yang telah lalu dengan konteks yang berbeda di masa kini.
Setidaknya ada dua asumsi dasar yang
menjadi latar belakang perlunya kontekstualisasi ini‘ yaitu:
1.
Al-Qur‘an adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut
dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas). Sebagai dokumen
untuk manusia, Al-Qur‘an harus selalu memberikan bimbingan kepada manusia
dalam hidup dan kehidupan mereka. Dengan kata lain al-Qur‘an merupakan
sumber dan tata nilai.
2.
Sebagai petunjuk Allah kepada manusia, pesanpesan Al-Qur‘an
bersifat universal; dan ini disepakati oleh seluruh umat Islam. Persoalannya
adalah bagaimana agar pesan-pesan al-Qur‘an yang universal itu bisa ditangkap
dan dimanfaatkan oleh setiap orang pada setiap masa.
Upaya kontekstualisasi juga terdapat dalam
ilmu tafsir yang dikenal dengan tafsir al-adab al-ijtima‟i dimana
yang menjadi ciri khasnya adalah berupaya merumuska petunjuk Al-Qur‘an agar bisa
dipakai sebagai pedoman praktis dalam kehidupan umat Islam. Antarateks, konteks
dan kontekstualisasi dalam tafsir klasik jarang digunakan
secara bersamaan. Seringkali penafsiran satu ayat hanya mengeksplorasi setting
historis (asbab al-nuzul) kemudian merumuskan pemahaman tanpa membawah
ke arah kontekstualisasi, demikian juga sebaliknya, kadangkala muncul upaya
kontekstualisasi tanpa terlebih dahulu melacak setting historis saat ayat itu diturunkan.
Sedangkan yang paling jarang muncul adalah terangkainya ketiga unsur hermeneutik
secara bersama-sama.
I.
Tinjauan
Kritis Hermeneutika al-Qur’an
Perkembangan metodologi analisis al-Qur‘an boleh jadi
akan dirasakan usang oleh si pemakainya, sehingga akan diusahakan mendapatkan
yang baru. Proses pencarian ini akan akan bermuara pada perumusan metodologi
baru dan akhirnya pembaruan pun tidak mungkin dihindari. Dalam hal ini
hermeneutika merupakan metodologi baru yang sedang aktual dibicarakan oleh para
ahli. Dalam realitasnya kehadiran hermeneutika telah memunculkan pro dan konra
di tengah umat Islam. Kehadiran hermeneutika dalam kejian tafsir Al-Qur‘an pada
hakikatnya adalah sebuah tawaran baru yang berasal dari para ilmuan metodologi
kontemporer dari berbagai displin ilmiah. Sebagai sebuah tawaran baru, tidak
serta merta hermeneutika ini harus diadopsi atau ditolak mentah-mentah.
Pemahaman yang serius, upaya trial and error, dan evaluasi yang
berkesinambungan kiranya perlu dilakukan sebelum kemudian diputuskan apakah
hermeneutika akan menggantikan Ulumul Qur‘an ataukah ditolak seratus persen,
atau sekedar menambah variable metodologi dalam Ulumul Qur‘an yang selama ini
telah established.
Karena diskusi hermeneutika pada hakikatnya merupakan
wacana ilmiah-filosofis, penerimaan dan penolakan terhadap hermeneutika
seharusnya didasarkan kepada argumen-argumen yang ilmiah dan bukannya kepada
apologi-apologi serta asumsiasumsi yang tidak perlu, seperti kecurigaan dan
ketakukan tanpa dasar terhadap yang lain, maupun sentimentalisme emosional
untuk memihak atau menjatuhkan pandangan tertentu.
Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim
dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau
menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah
ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab
setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.
Penentangan beberapa pakar Muslim terkait penggunaan
hermeneutika dalam pengkajian Al-Quran, pada umumnya disebabkan atas dua hal:
1.
Pertama, hermenentika tidak berasal dari khasanah keilmuan
Islam. Seperti telah dijelaskan bahwa hermeneutika berasal dari khasanah
filsafat Yunani, yang kemudian digunakan dalam merekonstruksi Bible.
2.
Kedua, karena hermeneutika pula keotentikan Bible sebagai
sepenuhnya wahyu akhirnya diragukan oleh para sarjana Barat. Ada kekhawatiran
jika hermeneutika digunakan dalam konteks menafsirkan Al-Quran maka akan
bernasib sama dengan Bible.
Menurut Donald Qomaidiansyah Tungkagi, menolak hermeneutika hanya karena ilmu ini tidak
lahir dalam
khasanah pengetahuan umat Islam justru tindakan yang begitu gegabah.
Penolakan ataupun penerimaan terhadap sebuah
pengetahuan seharusnya tidak melihat dari darimana pengetahuan itu berasala,
melainkan seharusnya dari seberapa besar manfaat dan mudhorat dari pengetahuan
tersebut. Selanjutnya, kekhawatiran bahwa penggunaan hermeneutika dalam
merekonstruksikan Al-Quran justru akan bernasib sama
dengan Bible dalam pandangan penulis justru sangat berlebihan. Sebagai
umat Muslim yang meyakini bahwa Al-Quran merupakan wahyu yang qath‟i seharusnya
tidak perlu takut jika penafsiran Al-Quran mengunakan hermeneutika. Sebab
bagaimanapun juga keotentikan Al-Quran sebagai wahyu dari Tuhan tidak akan tetap terjamin,
sebab Tuhan
sendiri yang menjaminnya. Bahkan Al-Quran merupakan satu-satunya kitab
suci di dunia ini menantang bagi orang yang meragukan
kebenarannya sebagai wahyu Tuhan dengan meminta membuat satu surat semisal
dengannya.
Selain dua pandangan tersebut, ada juga pakar yang
menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran karena ilmu
tafsir yang digunakan para mufasirin sejak zaman klasik itu sudah sedemikian
terang dan jelas. Menurut para ulama tersebut penggunaan hermeneutika justru
merupakan upaya terselubung dari para oknum diluar Islam untung menggantikan metode
para mufasirin sejak zaman klasik. Lebih jauh lagi ada kekhawatiran upaya
tersebut justru berpretensi meruntuhkan khasanah keilmuan Islam. Dalam pandangan Donald
Qomaidiansyah Tungkagi,
kekhawatiran seperti ini boleh jadi benar meski harus dibuktikan dahulu, akan tetapi
dengan menafikan
hermeneutika sedangkan pada kenyataannya metode ini dapat
mendatangkan manfaat yang begitu besar bagi umat Islam
justru tidak bisa sepenuhnya dibenarkan juga.
Di dalam menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar
tentang hermeneutika
sebenarnya terdapat beberapa catatan yang dapat
diambil, yakni :
1.
Benar
bahwa hermeneutika merupakan produk Barat, sebagai alat
memahami Bibel, akan tetapi tentunya tidak serta-merta
harus dicemooh atau dinilai kafir bagi penggunanya, karena bagaimanapun ia hanya
sebatas sarana pemahaman. Sebab hermeneutika saat diaplikasikan pada Ulum
Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi.
2.
Tentang
teks, dalam
istilah Ulum Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam sejarah
pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat.
Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang
katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam
penafsiran Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu
menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang
berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar
teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis mencoba menyimpulkan
bahwa hermeneutika dapat membantu seseorang dalam memahami teks kitab suci
dengan cara pemaknaan dari teks tersebut. Seorang mufassir berusaha untuk
membantu memecahkan pemahaman, khususnya dalam interpretasi teks. Hermeneutik
mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks dengan mengajukan
pendekatan-pendekatan keilmuan lain yang dengan sendirinya menguji proses
pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan (teks).
B.
Saran
Sebagai metodologi tafsir al-Qur’an yang baru sebaiknya kita lebih
kritis dalam menerima hermeneutika ini. Semoga makalah yang penulis susun ini
memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Penulis menyadari makalah yang telah disusun masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kritik serta saran
dari pembaca sangat penulis butuhkan untuk melengkapi makalah yang telah saya susun.
DAFTAR
PUSTAKA
Donald Qomaidiansyah Tungkagi. AL-QUR’AN
PERSPEKTIF HERMENEUTIKA: Sebuah Tinjauan Kritis. https://www.academia.edu/24275208/Al_Quran_dalam_Perspektif_Hermeneutika. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul
12.51 WIB
Elok Noor Farida dan Kusrini. 2013. Studi Islam Pendekatan Hermeneutik. http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/jurnalPenelitian/article/download/820/787. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.46
WIB
Rifki Ahda
Sumantri. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR
RAHMAN
METODE TAFSIR DOUBLE MOVEMENT. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=402579&val=3911&title=HERMENEUTIKA%20AL-QUR%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2AN%20FAZLUR%20RAHMAN%20METODE%20TAFSIR%20DOUBLE%20MOVEMENT. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 13.45
WIB
Sudarto
Murtaufiq. HERMENEUTIKA AL-QURÁN:
KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU ZAID. http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/akademika/article/download/170/67. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.14
WIB
Sulaiman
Ibrahim. HERMENEUTIKA TEKS: SEBUAH WACANA DALAM METODE TAFSIR ALQURAN?. http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/338/388. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.31
WIB
Yayan Nurbayan. Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al
Quran. http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/196608291990011-YAYAN_NURBAYAN/Makalah/Pengunaan_Hermeneutika_dalam_al_Quran.pdf . Diakses Minggu
16/10/2016 pukul 12.38 WIB
Problematika Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an.
2009. http://inpasonline.com/new/problematika-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-1/. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.00
WIB
[1] Problematika Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an, 2009, http://inpasonline.com/new/problematika-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-1/, diakses Minggu 16/10/2016 pukul
11.00 WIB
[2]Sulaiman Ibrahim, 2014, HERMENEUTIKA
TEKS:
SEBUAH WACANA DALAM METODE TAFSIR ALQURAN?, http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/338/388, diakses
Minggu 16/10/2016 pukul 11.31 WIB
[3] Elok Noor Farida dan
Kusrini, 2013, Studi Islam Pendekatan Hermeneutik, http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/jurnalPenelitian/article/download/820/787, hlm
385, diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.46 WIB
[4]
Ibid, hlm. 396
[5] Yayan Nurbayan, Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al
Quran, http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/196608291990011-YAYAN_NURBAYAN/Makalah/Pengunaan_Hermeneutika_dalam_al_Quran.pdf, diakses Minggu 16/10/2016 pukul
12.38 WIB