Senin, 24 Oktober 2016

METODOLOGI STUDI ISLAM



HERMENEUTIKA DALAM AL-QUR'AN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kajian teks dalam studi Islam merupakan salah satu bagian penting yang perlu mendapatkan perhatian. Sebagai sebuah teks, al-Qur‘an dinilai terbatas sedangkan problem sosial kemanusian selalu berubah-ubah tanpa batas. Karena itu, di era modern kontemporer, al-Qur‘an harus ditafsirkan untuk menjawab problem tuntutan zaman. Menafsirkan al-Qur‘an berarti upaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur‘an. Karena objek tafsir adalah al- Qur‘an yang merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, penafsiran terhadap al-Qur‘an merupakan suatu keharusan.
Sejumlah pemikir muslim kontemporer yang ingin memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti ilmu tafsir al-Qur‘an. Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi al-Qur‘an ini begitu marak. Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana muslim kontemporer, baik di negara-negara Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia.
Dewasa ini di kalangan kaum muslimin - terutama kaum modernis telah banyak memanfaatkan Hermeneutika sebagai salah satu instrumen untuk menggali isi dan kandungan al Quran. Penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al-Qur'an adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur'an mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu hermeneutika?
2.      Apa saja karakteristik dan prinsip hermeneutika?
3.      Bagaimana penggunaan dan peran hermeneutika dalam studi Islam?

C.     Tujuan
Untuk  mengetahui lebih dalam tentang HERMENEUTIKA DALAM AL-QURAN berdasarkan rumusan masalah diatas.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hermeneutika
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata hermeneutics (Inggris)[1], hermeneuein (Yunani) yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.[2] Hermeneutika sebagai seni menafsirkan mengharuskan tiga komponen, yakni teks, penafsir dan penyampaian kepada pendengar. Hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti apa yang diinginkan oleh si pembuat teks tersebut. (Mircea Eliade, 1993:279 dalam Yayan Nurbayan ).
Kata Hermeneutika pada mulanya merujuk pada nama dewa Yunani Kuno, Hermes yang tugasnya menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa yang dialamatkan kepada manusia. Hermez diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Di sinilah terjadi mediasi di mana pemahaman manusia awalnya tak dapat ditangkap lewat intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang) dipahami. Secara teologis, peran Hermez ini bisa dinisbatkan peran Nabi utusan Tuhan. Hermez tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam Al-Qur‘an.
Maka hermeneutika, adalah cara mencapai pemahaman yang mempunyai fungsi seperti Hermes. Hermeneutika mengusahakan penafsiran dan bahkan pehamaman antarmanusia, antargenerasi, dan antarbudaya. Artinya, dalam proses pemahaman, mereka menafsirkan tidak hanya berhadapan dengan fakta, tetapi juga makna dan realitas yang berdialog serta ikut memengaruhi dirinya. Hal yang ditafsirkan adalah teks dalam arti luas. Termasuk di dalamnya; pemikiran, bahasa, tulisan, budaya dan pengalamannya di dalam dunia.
B.     Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika
Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Sejarah Yunani kuno, hermeneutika dianggap sebagai sebuah media yang digunakan untuk memahami buku-buku sastra dan teks-teks keagamaan. Selanjutnya kaum Yahudi juga memanfaatkannya dalam rangka menginterpretasi Perjanjian Lama. Pada abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutika untuk membongkar makna teks Injil karena melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika. Dalam tradisi Kristen inilah berkembang wacana hermeneutika dari fase teologi menuju fase rasionalisasi dan kajian filosofis.
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang, cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Faktanya, sekarang berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya, dan hermeneutika di zaman ini telah masuk ke bidang- bidang semisal agama (kitab suci), sastra, sejarah, hukum dan filsafat.
Dalam tradisi keilmuan Islam, hermeneutika mulai mendapatkan apresiasi dari para sarjana muslim yang melihat beberapa elemen yang dapat dimanfaatkan dari teori ini, terlebih ketika ia dihubungkan dalam studi Al-Qur‘an. Namun, dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan Al-Qur‘an, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Ilmu tafsir telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan Al-Qur‘an. Beda dengan hermenutika, meski bisa dijadikan teori, konsep atau metode, namun ia tidak bisa digunakan sebagai fondasi metodologi yang kokoh dan teruji bagi semua kajian keislaman, terlebih ketika bersentuhan dengan Al-Qur‘an.
C.     Karakteristik Pendekatan Hermeneutika
Hermeneutika sebagi pendekatan studi agama memiliki 6 (enam) karakteristik:[3]
1.      Hermeneutika adalah metode dan seni penafsiran teks secara umum atau kalimat sebagai simbol teks itu.
2.      Hermeneutika adalah metode yang memadukan dan menggabungkan antara filsafat dan kritik sastra atau sejarah.
3.      Metode hermeneutika bertujuan mencari makna yang terkandung dalam teks, namun yang dicari oleh hermeneut  (pelaku penakwilan) bukanlah makna sederhana atau dangkal, melainkan makna yang bernilai karena terkait dengan upaya penghargaan atas esensi manusia.
4.      Hermeneutik adalah metode tafsir individualis sekaligus objekif-idealis dan mengakui keragaman level metafisika.
5.      Fungsi metode hermeneutika memiliki pembebasan (liberalisme).
6.      Metode hermeneutika sebagai salah satu metode kritis-lebih dekat pada spirit metode ilmu-ilmu fisika.
D.    Tokoh-tokoh Hermeneutika dan Hasil Pemikirannya
1.      Scehleiermachera
Scehleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni dan interpretasi, yaitu rekontruksi historis, obyektif dua ciri khas ganda, yaitu optimisme, semangat dan subyektif terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif-historis terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan. Dengan rekontruksi subyektif-historis ia membahas awal mulanaya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Scehleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik dari pengalamannya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.
Menurut Scehleiermacher, sebuah karya harus diamati dari dua sisi, yaitu sisi luar dan sisi dalam. Aspek luar sebuah karya adalah aspek tata bahasa dan kekhasan linguistik lainnya. Adapun aspek dalam adalah “jiwa” tulisan tersebut. Dalam konteks ini, tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta situasinya menurut zamannya, yang harus diserahkan kepada tiga bagian, yaitu sejarah, tata bahasa, dan aspek kerohaniannya. Korespondensi antara tiga bagian atau taraf pemahaman itu juga merupakan tiga taraf penjelasannya, yaitu hermeneutik atas huruf yang menentukan “bahan baku” sebuah teks, hermeneutik atas makna atau “bentuk” teks, dan hermeneutik atas aspek kejiwaan atau “jiwa” teks.
Menurut Scehleiermacher, ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis.  Oleh karenannya, untuk memahami pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya sebaiuk memahami kejiwaannya. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.
2.      Hans-George Gadamerc
Gadamer secara mendasar menegaskan bahwa Hermeneutik lebih merupakan usaha memahami dan menginterprestasi sebuah teks. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknis atau techne tertentu, dan berusaha kembali kesusunan tata bahasa, karena techne atau kunstlehre ( ilmu tentang seni ) inilah maka hermeneutik menjadi sebuah ‘filsafat praktis’, yang juga berarti sebuah ilmu pengetahuan tentang segala hal yang universal yang mungkin untuk diajarkan.
Pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Hermeneutik bukan nerupakan kemampuan teknis. Selanjutnya dalam perkembangannya adaempat factor yang terdapat di dalam interprestasi hermeneutik adalah:
·         Bildung; juga disebut pembentukan jalan pikiran, ini meng­gambarkan cara utama manusia dalam memperkembang­kan bakat-bakatnya.
·         Sensus communis; atau pertimbangan praktis yang baik: istilah ini mempunyai komonitas. Karena sensus communis inilah maka kita dapat mengetahui hampir-hampir secara interpretasi
·         Pertimbangan; menggolong-golongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal, atau mengenali sesuatu sebagai contoh perwujudan hukum.
·         Selera; adalah keseimbangan antara insting pancaindra dengan kebebasan intelektual. Seler dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal-hal yang kita sukai, serta meyakinkan kita dalam membuat pertimbangan.
Dari semuanya itu, konsep tentang pengalaman termasuk di dalamnya. Sifat pengalaman adalah personal dan individu, jadi hanya akan valid jika diyakinkan dan diulangi oleh individu lain. Hermeneutik model Gademer ini adalah keterbukaan terhadap “yang lain”, apapun bentuknya, baik sebuah teks, notasi musik maupun karya seni. Hermeneutik menurut Gademer adalah sungguh-sungguh sebuah seni.
3.      Paul Ricoeure
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna objektif diekspresikan dari niat subjektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
E.     Prinsip-prinsip Paham Hermeneutika
Dunia ini adalah untuk memahami dan menginterpretasi realitas, Berikut adalah beberapa prinsip faham hermeneutika:[4]
1.      Bila kaum strukturalis berkonsentrasi pada struktur, kaum hermeneutika berkonsentrasi pada makna. Makna ada pada bahasa sebuah tradisi. Pandangan ini berbeda dengan pandangan fenomenologis bahwa makna ada pada kesadaran seseorang.
2.      Bahasa adalah pusat kekuatan manusia. Menurut Gadamer, ada (being) yang bisa dimengerti adalah bahasa. Tanpa bahasa tidaklah mungkin memahaminya. Ini mengingatkan kita akan ungkapan lama zoon logon echon, manusia sebagai makhluk berbicara. Sesuai pula dengan pepatah Arab al-Insan hayaw an-nathiq.
3.      Hermeneutika menakankan pemahaman dan komunikasi. Lewat bahasa mereka berupaya untuk mendapatkan pemahaman berjamaah atau shared view. Kuncinya adalah interpretasi terhadap teks. Bagaimana memahami problem dalam konteks kita masa kini ihwal sesuatu yang tertulis dalam teks tradisional yang jauh berbeda dalam ruang dan waktu.
4.      Dalam tradisi hermeneutika, subjek dan objek tidak dipisahkan tetapi malah terlibat dalam hubungan komunikatif. Konstruksi makna berdasar pada intersubjektivitas dan dalam konteks tempat kejadian fenomena. Subjektivitas yang dialami bersama secara kolektif jauh lebih bernilai daripada kesimpulan subjektif dan idiosinkratik.
5.      Subjek dimaknai demikian adanya karena dunia bahasa yang mereka gali. Dunia adalah bagian dari bahasa. Dunia kita dibentuk oleh bahasa. Interpretasi yang baik menyaratkan adanya keterkaitan (interplay) antar dua konteks. Ini yang disebut Gadamer sebagai fusion of horizons. Dalam tradisi hermeneutika pemahaman itu dideskripsi sebagai lived atau existential, yakni teralami langsung, bukannya pengalaman yang dijaraki (detached) dengan alasan demi objektivitasnya.
6.      Tujuan akhir dari hermeneutika adalah pemahaman yang lebih baik atau pemaknaan (sense making) dari interaksi berbagai konstruksi yang sudah ada, lalu dianalisis agar mudah dipahami pihak lain, sehingga akhirnya dicapailah sebuah konsensus.
7.      Pemahaman antarbudaya dan antar zaman seperti halnya pemahaman teks juga, yaitu sebuah dialog lintas budaya dan lintas zaman. Tidak mungkin ada titik temu pemahaman yang pasti, sebab masing-masing dibentuk oleh dunia bahasa dan budayanya sendiri. namun masing-masing dapat berupaya untuk mendapat pemahaman semaksimal mungkin.
F.      Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an
Setelah mengamati berbagai tulisan dan pandangan para cendekiawan muslim, perlu diketahui bahwa:[5]
1.      Pertama, Hermeneutika tidak bisa digunakan untuk menafsirkan al Quran. Hermeneutika lahir dan berkembang dari suatu peradaban dan pandangan hidup masyarakat penemunya. Setiap ilmu, konsep atau teori termasuk Hermeneutika, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan pandangan hidup sendiri. Pendapat ini dianut oleh sebagian besar mufassir. Dalam Islam sumber inspirasi tidak hanya akal. Karena akal manusia mempunyai keterbatasan. Al Quran banyak menyebutkan peristiwa yang tidak bisa diterima oleh akal. Dan hal ini tidak pernah terlintas dalam pemikiran para pakar Hermeneutika. Misalnya ceritera kapalnya nabi Nuh, nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar, nabi Musa yang dapat membelah laut, Isra dan mi’rajnya nabi Muhammad SAW dan banyak lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah khayalan akan tetapi merupakan khabar shadiq (benar dan tidak diragukan lagi).
2.      Kedua, hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks. Teks tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia. Walaupun hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat yang memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia bisa digunakan, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Suatu peradaban bisa saja mengimport suatu konsep, tentunya dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut borrowing proses. Jika modifikasi konsep ini melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigma Shift) tidak dapat dielakkan.
Selain itu juga, Implementasi Hermeneutika dalam Islam berbeda dengan Hermeneutika dalam dunia Kristen. Implementasi Hermeneutika dalam dunia Kristen digunakan untuk mencari orsinialitas kitab suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci yang sangat beragam, sehingga mereka perlu mencari mana dari semua itu yang asli dan paling benar. Sedangkan penggunaan Hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al Quran, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling mendekati kebenaran. Dan kebenaran dari suatu tafsir hanya Allah yang mengetahui (sehingga seorang mufassir sehebat apapun akan berkata Wallahu a’lam).
G.    Peran Pendekatan Hermaneutik dalam Studi Islam
Beberapa pakar Muslim modern mulai menggunakan hermeneutika untuk memahami al-Qur’an. Mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami al-Qur’an ternyata memiliki berbagai keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks semata, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, misalnya mengandaikan bahwa ilmu tafsir tidak menempatkan teks dalam dialektika konteks dan kontekstualisasinya. Teks al-Qur’an akan sulit dipahami oleh berbagai pembaca lintas generasi.
Dengan adanya keterbatasan ini, ditambahkan lagi dengan mengaitkan fakta bahwa mereka dibatasi dengan segenap aturan normatif, aturan yang dihubungkan dengan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Seorang peneliti dibebani dengan syarat harus berakidah yang benar, berakhlak mulia, bersifat ikhlas, berhati jujur, dan sebagainya. Bila syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka ide penafsirannya tidak diakui.
Hal ini yang membuat para pemikir kontemporer melihat jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang dibentangkannya dibalik ayat-ayat al-Qur’an. Demikian halnya jika metode tafsir selama ini menempatkan teks sebagai satu-satunya area kajian, maka sudah saatnya segala unsur empiris-psikologis-kultural yang terlibat dalam pembentukan teks itu dieksplorasi. Faktor inilah yang ditemukan dalam pembahasan hermeneutika. Maka, hermeneutika menjadi alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir.
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulumul al-Qur’an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas ulumul al-Qur’an telah membahasanya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf al-Qur’an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabul nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek “konteks” dalam penafsiran al-Qur’an. Tapi, kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka harus ditambah variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
Dalam hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Meski secara tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam kacamata hermeneutik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu memang meniscayakan adanya hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab ketika itu memang menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi sosial budaya masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong tangan lebih dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara, suatu upaya yang secara substantiv sama dalam mencegah pengulangan kejahatan yang sama.
H.    Pergulatan Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi dalam Hermeneutika
Paul Riceour menyatakan bahwa hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks. Oleh karena itu, pengertian tentang teks menjadi sangat sentral dalam pemikiran hermeneutika. Kemudian dengan mengunakan istilah discoursous, Ricoeur membagi bahasa dalam dua sifat, yakni bahasa sebagai meaning dan bahasa sebagai event. Dimana bahasa sebagai meaning adalah dimensi non-historis, dimensi statis, sedangkan bahasa sebagai event adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Untuk konteks inilah artikulasi discourse dapat bermakna sebagai bahasa lisan dan bahasa tulisan. Pada bahasa lisan terbentuk komunikasi langsung yang dimana tidak terlalu membutuhkan metode hermeneutik, sebab apa yang disampaikan masih sangat melekat kepada penyampainya. Makna dari apa yang disampaikanpun masih bisa dirujuk langsung pada intonasi maupun gerak isyarat (gestures) dari si pembicara. Sedangkan teks memiliki kemandirian, totalitas, yang dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat pada-apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan.
Sebagai metode penafsiran hermeneutika tidak saja berurusan dengan teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan penafsiran teks tersebut membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi. Kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami ayat-ayat al-Quran ini dalam ilmu tafsir al-Qur‘an sangat dikenal dalam disimplin kajian Asbab al-Nuzul, dimana isi dari kajian ini adalah menelaah latar belakang diturunkannya ayat-ayat al-Quran kepada Nabi. Ilmu tentang asbab al-nuzul memberikan bekal kepada seorang mufasir mengenai materi teks yang merespons realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan yang dialogis dan dialektis antarateks dan realitas. Bahwa asbab al-Nuzul merupakan salah satu bentuk dari perhatian terhadap konteks ayat, adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah.
Dengan kerangka pikir yang berlandaskan konteks ini akhirnya akan terasa wajar jika dalam al-Quran banyak ditemukan contoh-contoh yang secara spesifik dikenal di wilayah arab, seperti sebuah peringatan dengan penciptaan untuk dalam QS. Al-Ghasiyah:12 فِىْهَا عَىْنٌ جَارِىَة. Di dalamnya ada mata air yang mengalir atau dengan keindahan surga yang digambarkan dengan mengalirnya sungai di bawahnya. Semua itu tentunya gambaran kondisi masyarakat Arab yang kesehariannya akrab dengan unta dan hanya bisa membayangkan indahnya sungai dan air yang mengalir. Selain itu berkenaan dengan istilah khamr dalam QS. Al-Baqarah , banyak penafsir yang mengartikan khamr dalam tersebut sebagai perasan anggur, tetapi dengan melihat konteks historisnya bahwa ayat ini turun di Madinah, maka yang biasa dikonsumsi oleh penduduk madinah itu bukan hanya perasan anggur, tetapi juga perasan kurma, karena tradisi itulah yang ada di Madinah. Pemahaman akan al-Quran dalam konteksnya masih belum cukup, karena pemahaman terbatas pada konteks hanya akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan kontemporer. Disinilah perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan makna teks yang dipahami dari suatu wacana dalam konteks tertentu di masa yang telah lalu dengan konteks yang berbeda di masa kini.  
Setidaknya ada dua asumsi dasar yang menjadi latar belakang perlunya kontekstualisasi ini‘ yaitu:
1.      Al-Qur‘an adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas). Sebagai dokumen untuk manusia, Al-Qur‘an harus selalu memberikan bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupan mereka. Dengan kata lain al-Qur‘an merupakan sumber dan tata nilai.
2.      Sebagai petunjuk Allah kepada manusia, pesanpesan Al-Qur‘an bersifat universal; dan ini disepakati oleh seluruh umat Islam. Persoalannya adalah bagaimana agar pesan-pesan al-Qur‘an yang universal itu bisa ditangkap dan dimanfaatkan oleh setiap orang pada setiap masa.
Upaya kontekstualisasi juga terdapat dalam ilmu tafsir yang dikenal dengan tafsir al-adab al-ijtima‟i dimana yang menjadi ciri khasnya adalah berupaya merumuska petunjuk Al-Qur‘an agar bisa dipakai sebagai pedoman praktis dalam kehidupan umat Islam. Antarateks, konteks dan kontekstualisasi dalam tafsir klasik jarang digunakan secara bersamaan. Seringkali penafsiran satu ayat hanya mengeksplorasi setting historis (asbab al-nuzul) kemudian merumuskan pemahaman tanpa membawah ke arah kontekstualisasi, demikian juga sebaliknya, kadangkala muncul upaya kontekstualisasi tanpa terlebih dahulu melacak setting historis saat ayat itu diturunkan. Sedangkan yang paling jarang muncul adalah terangkainya ketiga unsur hermeneutik secara bersama-sama.
I.       Tinjauan Kritis Hermeneutika al-Qur’an
Perkembangan metodologi analisis al-Qur‘an boleh jadi akan dirasakan usang oleh si pemakainya, sehingga akan diusahakan mendapatkan yang baru. Proses pencarian ini akan akan bermuara pada perumusan metodologi baru dan akhirnya pembaruan pun tidak mungkin dihindari. Dalam hal ini hermeneutika merupakan metodologi baru yang sedang aktual dibicarakan oleh para ahli. Dalam realitasnya kehadiran hermeneutika telah memunculkan pro dan konra di tengah umat Islam. Kehadiran hermeneutika dalam kejian tafsir Al-Qur‘an pada hakikatnya adalah sebuah tawaran baru yang berasal dari para ilmuan metodologi kontemporer dari berbagai displin ilmiah. Sebagai sebuah tawaran baru, tidak serta merta hermeneutika ini harus diadopsi atau ditolak mentah-mentah. Pemahaman yang serius, upaya trial and error, dan evaluasi yang berkesinambungan kiranya perlu dilakukan sebelum kemudian diputuskan apakah hermeneutika akan menggantikan Ulumul Qur‘an ataukah ditolak seratus persen, atau sekedar menambah variable metodologi dalam Ulumul Qur‘an yang selama ini telah established.
Karena diskusi hermeneutika pada hakikatnya merupakan wacana ilmiah-filosofis, penerimaan dan penolakan terhadap hermeneutika seharusnya didasarkan kepada argumen-argumen yang ilmiah dan bukannya kepada apologi-apologi serta asumsiasumsi yang tidak perlu, seperti kecurigaan dan ketakukan tanpa dasar terhadap yang lain, maupun sentimentalisme emosional untuk memihak atau menjatuhkan pandangan tertentu. Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.
Penentangan beberapa pakar Muslim terkait penggunaan hermeneutika dalam pengkajian Al-Quran, pada umumnya disebabkan atas dua hal:
1.      Pertama, hermenentika tidak berasal dari khasanah keilmuan Islam. Seperti telah dijelaskan bahwa hermeneutika berasal dari khasanah filsafat Yunani, yang kemudian digunakan dalam merekonstruksi Bible.
2.      Kedua, karena hermeneutika pula keotentikan Bible sebagai sepenuhnya wahyu akhirnya diragukan oleh para sarjana Barat. Ada kekhawatiran jika hermeneutika digunakan dalam konteks menafsirkan Al-Quran maka akan bernasib sama dengan Bible.
Menurut Donald Qomaidiansyah Tungkagi, menolak hermeneutika hanya karena ilmu ini tidak lahir dalam khasanah pengetahuan umat Islam justru tindakan yang begitu gegabah.
Penolakan ataupun penerimaan terhadap sebuah pengetahuan seharusnya tidak melihat dari darimana pengetahuan itu berasala, melainkan seharusnya dari seberapa besar manfaat dan mudhorat dari pengetahuan tersebut. Selanjutnya, kekhawatiran bahwa penggunaan hermeneutika dalam merekonstruksikan Al-Quran justru akan bernasib sama dengan Bible dalam pandangan penulis justru sangat berlebihan. Sebagai umat Muslim yang meyakini bahwa Al-Quran merupakan wahyu yang qath‟i seharusnya tidak perlu takut jika penafsiran Al-Quran mengunakan hermeneutika. Sebab bagaimanapun juga keotentikan Al-Quran sebagai wahyu dari Tuhan tidak akan tetap terjamin, sebab Tuhan sendiri yang menjaminnya. Bahkan Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci di dunia ini menantang bagi orang yang meragukan kebenarannya sebagai wahyu Tuhan dengan meminta membuat satu surat semisal dengannya.
Selain dua pandangan tersebut, ada juga pakar yang menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran karena ilmu tafsir yang digunakan para mufasirin sejak zaman klasik itu sudah sedemikian terang dan jelas. Menurut para ulama tersebut penggunaan hermeneutika justru merupakan upaya terselubung dari para oknum diluar Islam untung menggantikan metode para mufasirin sejak zaman klasik. Lebih jauh lagi ada kekhawatiran upaya tersebut justru berpretensi meruntuhkan khasanah keilmuan Islam. Dalam pandangan Donald Qomaidiansyah Tungkagi, kekhawatiran seperti ini boleh jadi benar meski harus dibuktikan dahulu, akan tetapi dengan menafikan hermeneutika sedangkan pada kenyataannya metode ini dapat mendatangkan manfaat yang begitu besar bagi umat Islam justru tidak bisa sepenuhnya dibenarkan juga.
Di dalam menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar tentang hermeneutika
sebenarnya terdapat beberapa catatan yang dapat diambil, yakni :
1.      Benar bahwa hermeneutika merupakan produk Barat, sebagai alat memahami Bibel, akan tetapi tentunya tidak serta-merta harus dicemooh atau dinilai kafir bagi penggunanya, karena bagaimanapun ia hanya sebatas sarana pemahaman. Sebab hermeneutika saat diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi.
2.      Tentang teks, dalam istilah Ulum Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.






BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis mencoba menyimpulkan bahwa hermeneutika dapat membantu seseorang dalam memahami teks kitab suci dengan cara pemaknaan dari teks tersebut. Seorang mufassir berusaha untuk membantu memecahkan pemahaman, khususnya dalam interpretasi teks. Hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan (teks).

B.     Saran
Sebagai metodologi tafsir al-Qur’an yang baru sebaiknya kita lebih kritis dalam menerima hermeneutika ini. Semoga makalah yang penulis susun ini memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Penulis menyadari makalah yang telah disusun masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kritik serta saran dari pembaca sangat penulis butuhkan untuk melengkapi makalah yang telah saya susun.












DAFTAR PUSTAKA
Donald Qomaidiansyah Tungkagi. AL-QUR’AN PERSPEKTIF HERMENEUTIKA: Sebuah Tinjauan Kritis. https://www.academia.edu/24275208/Al_Quran_dalam_Perspektif_Hermeneutika.  Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 12.51 WIB
Elok Noor Farida dan Kusrini. 2013. Studi Islam Pendekatan Hermeneutik. http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/jurnalPenelitian/article/download/820/787. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.46 WIB

Rifki Ahda Sumantri. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN

Sudarto Murtaufiq. HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU ZAID.  http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/akademika/article/download/170/67. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.14 WIB

Sulaiman Ibrahim. HERMENEUTIKA TEKS: SEBUAH WACANA DALAM METODE TAFSIR ALQURAN?. http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/338/388. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.31 WIB

Yayan Nurbayan. Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al Quran. http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/196608291990011-YAYAN_NURBAYAN/Makalah/Pengunaan_Hermeneutika_dalam_al_Quran.pdf . Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 12.38 WIB
Problematika Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an. 2009. http://inpasonline.com/new/problematika-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-1/. Diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.00 WIB


[1] Problematika Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an, 2009, http://inpasonline.com/new/problematika-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-1/, diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.00 WIB
[2]Sulaiman Ibrahim, 2014, HERMENEUTIKA TEKS: SEBUAH WACANA DALAM METODE TAFSIR ALQURAN?, http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/338/388, diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.31 WIB

[3] Elok Noor Farida dan Kusrini, 2013, Studi Islam Pendekatan Hermeneutik, http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/jurnalPenelitian/article/download/820/787, hlm 385, diakses Minggu 16/10/2016 pukul 11.46 WIB



[4] Ibid, hlm. 396
[5] Yayan Nurbayan, Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al Quran, http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/196608291990011-YAYAN_NURBAYAN/Makalah/Pengunaan_Hermeneutika_dalam_al_Quran.pdf, diakses Minggu 16/10/2016 pukul 12.38 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar