TIME
VALUE OF MONEY VS ECONOMIC VALUE OF TIME
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keuangan
merupakan hal yang penting dalam kehidupan ekonomi. Ekonomi adalah suatu
aktivitas mengelola uang dan modal dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Oleh karena itu, masalah keuangan ini perlu mendapatkan perhatian secara
serius. Keberhasilan pengelolaan keuangan sangat ditentukan oleh prinsip yang
digunakan. Islam telah memberikan prinsip- prinsip dasar dalam mengelola uang
dan modal, baik untuk aktivitas bisnis maupun investasi.
Sekarang
ini, banyak perkembangan baru yang terkait dalam bidang ekonomi seperti masalah
mata uang, pola transaksi perdagangan dan sebagainya. Sebagaimana perkembangan
instrumen keuangan yang dibahas dimakalah ini, kesemuanya adalah hal yang perlu
dikaji. Seperti halnya dalam bidang atau transaksi pasar modal. Terkait dengan
aktivitas didalam pasar modal, banyak aspek yang perlu dicermati.
Sebab
aspek tersebut belum tentu sesuai dengan prinsip atau kaidah ekonomi islam
seperti: konsep time value of money atau positive time preference. Bolehkah
konsep ini diterapkan dalam sistem keuangan syariah. Jika boleh, modal apa yang
dapat dijadikan sebagai brenchmark atau mungkin lebih tepat digunakan saja
rata-rata cost of equity dari perusahaan pada industri tertentu? Dapatkah
konsep time value of money sebagai dasar dalam penentuan angsuran pokok dan
margin pada pinjaman murabahah dan seterusnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Karakteristik
Keuangan Syariah ?
2.
Bagaimana
Konsep Time Value Of Money dan Cost Of Capital ?
3.
Apa Kritik Atas
Konsep Time Value Of Money ?
4.
Bagaimana
Konsep Economic Value Of Time (EVT) ?
C.
Tujuan
Untuk
mengetahui lebih dalam tentang Time
Value Of Money Vs Economic Value Of Time berdasarkan rumusan
masalah diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Keuangan Syariah
Bidang
ekonomi sekarang ini banyak mengalami perkembangan baru, seperti dalam bidang
bidang pasar modal. Namun terkait dengan aktivitas didalamnya, terdapat konsep
time value of money atau positive time preference yang tidak
sesuai dengan karakteristik keuangan syariah.
Adapun karakteristik
(sistem dan lembaga) keuangan syariah adalah[1] :
1. Dijalankan
berdasarkan prinsip syariah.
2. Implementasi
prinsip ekonomi Islam dengan ciri-ciri:
·
Pelarangan riba dalam berbagai bentuknya,
·
Tidak mengenal konsep “time-value of money”,
·
Uang sebagai alat tukar bukan komoditi
yang diperdagangkan.
3. Beroperasi
atas dasar bagi hasil.
4. Kegiatan
usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa.
5. Tidak
menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan.
6. Asas
utamanya adalah: kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal.
7. Tidak
membedakan secara tegas sektor moneter dan sektor riil, namun dapat melakukan
transaksi-transaksi sektor riil.
B.
Konsep Time Value Of Money dan Cost
Of Capital
Persoalan riba berkaitan erat dengan masalah uang.
Islam memiliki prinsip ekonomi bahwa uang sebagai sarana penukar dan penimpan
nilai, bukan barag yang diperdagangkan. Dalam ekonomi konvensional, mengenai
uang ini timbul pemikiran nilai uang menurut waktu (time value of money). Time
value of money merupakan nilainya
uang yang bertambah karena perjalanan waktu, bukan didasarkan pada aktivitas
ekonomi apa yang dilakukan.[2]
Hal yang melatar belakangi time value of
money adalah adanya anggapan hilangnya opportunity
cost oleh pemilik modal, ketika dia meminjamkan uang kepada pihak lain.
Selain itu, TVM merupakan intervensi konsep biologi
dalam bidang ekonomi. Konsep ini muncul karena adanya anggapan uang disamakan
dengan barang yang hidup (sel hidup).
Pb = P0 ( 1 + g ) t
Dimana:
Pb : Pertumbuhan Sel
P0 : Sel Pada Awalnya
g :
Pertumbuhan
t : Waktu
Formula ini kemudian diadopsi dalam ilmu keuangan dan
akhirnya dirumuskan sebagai berikut:
FV
= PV (1+i)n
Dimana
:
FV : Future Value (Nilai uang masa yang akan
datang)
PV : Present Value (Nilai uang masa
sekarang)
i : Tingkat suku bunga
n : Waktu
Namun
konsep keuangan konvensional time value
of money ditolak para ekonom Islam dengan alasan economic value of time. Faktor yang menentukan nilai waktu adalah
bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Sehingga siapapun pelakunya tanpa
memandang suku, agama dan ras secara sunatullah,
ia akan mendapatkan keuntungan dunia.[3]
Konsep time value of money didasari
oleh dua alasan yang biasa disebut teori bunga abstinence (penundaan konsumsi) dan time preference theory (saat ini lebih berharga dari masa yang akan
datang), yaitu:
1. Presence of inflation (adanya
inflasi).
2. Preference present consumption to
future consumption (konsumsi hari ini lebih disukai
daripada konsumsi pada waktu yang akan datang).
Adanya inflasi ini tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya, jika keadaan
inflasi dijadikan alasan time value of
money seharusnya keadaan deflasi menjadi alasan adanya negative time value of money. Dan time preference theory juga ditolak karena bertentangan dengan
prinsip al-ghunmu bi la ghurni
(mendapatkan hasil tanpa memperhatikan risiko) dan al-kharaj bi la dhaman (memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu
biaya).
Time
value of money dalam kredit konvensional tidak begitu
saja mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima. Bila kompensasinya
sebagai discount rate. Dalam ekonomi
Islam dibenarkan karena dua hal:[4]
1. Jual
beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis).
2. Tertahannya
hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya
(menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan
kewajibannya kepada pihak lain.
Mengenai time value of money dan cost
of capital tidak dapat dilepaskan oleh konsep diskonto. Konsep diskonto ini
penting dalam analisis teori modal dan investasi misalnya digunakan dalam
evaluasi proyek ataupun keputusan investasi. Konsep yang dikembangkan oleh Von
Bhom-Bawerk menyebutkan bahwa positive
time prefference merupakan pola
ekonomi yang normal, sistematis, dan rasional. Diskonto dalam positive time prefference ini biasanya
didasarkan pada, atau paling tidak berhubungan dengan tingkat bunga (interest rate).[5]
Ekonom Islam menganggap penggunaan
diskonto dilarang karena Islam tidak membolehkan riba. Namun dipihak lain ditemukan adanya praktik penjualan dalam
bentuk bai’as-salam dan bai’mu’ajjal yang ternyata tidak dilarang dalam Islam.
Sehubungan dengan itu, M. Akram Khan (1992) menolak konsep positive time prefference karena penerimaan konsep diskonto dapat
mendorong legitimasi interest (bunga) dan membuka pintu belakang bagi masuknya
kembali riba. Sedangkan argumen
tentang efisiensi adalah ditentukan oleh faktor penentunya, misalnya: proses
manajerial, sehingga faktor diskonto bukan merupakan penentu suatu efisiensi.[6]
C. Kritik
Atas Konsep Time Value Of Money
Setiap
investasi selalu memopunyai peluang atau kemungkinan untuk mendapat hasil
positif, negatif, atau impas. Itu sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal
hubungan antara Risk Return.
Dua
alasan dari ekonomi konvensional terhadap teori time value of money, yaitu :
1. Presence
Of Inflation
2. Preference
present consumption to future consumption
Alasan
pertama tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap
perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan diflasi. Bila keberadaan
inflasi menjadi alasan adanya time value of maney, maka seharusnya keberadaan
deflasi juga harus menjadi alasannya adanya negative time value of maney.
Dengan demikian, sema ini hanya ada satu kondisi saja (inflasi) yang
diakomodasi oleh teori time value of maney, sedangkan keadaan deflasi
diabaikan.
Alasan
mengenai ketidakpastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional,
penerapan time value of maney tidak senaif yang dibayangkan, misalnya dengan
mengabaikan ketidakpastian terurn yang akan diterima. Bila unsur ketidakpastian
return ini dimasukkan, ekonomi konvensional menyebut kompensasinya sebagai discount
rate.
Dalam
setiap investasi tentu selalu ada probabilitas untuk mandapat positive return,
negatif return, dan non return. Inilah
yang menimbulkan ketidakpastian, probabilitas untuk mendapat negative return
dan no return yang dipertukarkan dengan sesuatu yang pasti yaitu premium for
uncertainly.[7]
D.
Konsep
Economic Value Of Time (EVT)
Al quran mengakui
pentingnya membuat catatan dan didukung lagi dengan kewajiban membayar zakat
sejumlah tertentu yang haru disisihkan untuk 8 ashnaf. Al quran juga mengharamkan
bunga yang selalu dianggap riba. Oleh karena itu ada hal yang harus dijelaskan
tentang teori time value of money dalam kaitannya dengan masalah riba dalam
pandangan islam, dan teori economic value of time yang dibenarkan menurut
pandangan islam.
Tawney
juga menyatakan bahwa pandangan semula yang melarang riba dala gereja kristen
memberikan kesempatan pada yahudi diaspora untuk mengambil peranan usaha bank.
Namun perkembangan berikutnya terhadap riba lebih kaku dan cenderung membagi
masalahnya pada aspek dunia dan akhirat, dan memberi kesempatan bagi kristen
untuk melaksanakan kegiatan simpan pinjam.
Landasan
atau keadaan yang digunakan oleh economic konvensional yang ditolak dalam
economic syariah yaitu keadaan alghunmu bi al ghurni (mendapat hasil tanpa
memperhatikan suatu resiko) dan al kharaj bi la dhaman (memperoleh hasil tanpa
mengeluarkan suatu biaya). Sebenarnya teori ini juga ditolak oleh teori
keuangan yaitu dengan menjelaskan adanya hubungan antara risk dan return.
Didalam
Islam keuntungan bukan saja keuntungan didunia namun dunia dan akhirat. Oleh
karena itu, pemanfaatan buakn saja harus efektif dan efisien, namun juga harus
didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di
akhirat. Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan keuntungan didunia
berarti keuntungan yang tidak diamalkan.
Keuntungan
dalam konteks ekonomi adalah diperoleh setelah menjalankan akitivitas bisnis.
Jadi barang siapa yang melakukan aktivitas bisnis secara efektif dan efisien,
ia akan mendapat keuntungan.
Dalam
ekonomi syariah, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan harga baI’
mi’ajjal (membayar tangguh) dapat digunakan, hal ini dibenarkan karena :
1. Jual
beli dan sewa menyewa termasuk dalam sektor riil.
2. Tertahanya
hak si penjual yang telah melaksanakan kewajibaanya, sehingga dia tidak bisa
melakukan kewajibanya kepada pihak lain
Transaksi bagi hasil
berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam
transaksi bagi hasil hubungan bukan dari penjual dan pembeli atau penyewa dan
yang menyewakan. Dalam transaksi bagi hasil yang ada adalah hubungan antara
pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut. Jadi tidak adsa pihak yang
telah melaksanakan kewajibannya namun masih tertahan haknya.[8]
Aktivitas
meminjamkan uang dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :
1. Meminjamkan
harta atau qiard (pinjaman).
2. Meminjamkan
harta dengan diberikan agunan oleh si peminjam atau rahn (gadai).
3. Meminjamkan
harta untuk mengambil alih pinjam dari pihak lain atau disebut hiwalah (pengalihan
utang).
Aktifitas
meminjamkan jasa dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Meminjamkan
jasa untuk saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain (wakalah)
2. Memberikan
jasa untuk pemeliharaan uang atau barang (wadi’ah)
3. Memberikan
jasa untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu (kafalah)
Akad
Tabarru’
Adalah
akad untuk mencari keuntungan akhirat karena bukan merupakan akad bisnis, akad
tabbaru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlanca akad-akad tijarah
Akad
Tijarah
Akad ini
dilakukan untuk tujuan mencari keuntungan. Contohnya diantaranya adalah
akad-akad investasi, jual-beli, sewa menyewa dan lain lain. Didalam menjalankan
investasi, hasil dan keuntungan kadang dapat dipastikan dan kadang juga tidak
dapat dipastikan. Akad tijarah dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :
1. Natural
Uncertanty Contract
2. Natural
Certanty Contract
Natural
Certanty Contract atau kontrak yang memberikan hasil
pasti adalah kontrak yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling mempertukarkan
aset yang dimilikinya. Kontrak-kontrak ini secara sunatullah (by their nature)
menawarkan return yang tetap dan pasti. Jenis kontrak ini adalah
kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dan lain-lain, yakni
sebagai berikut :
(1) Akad
jual beli (al-bai, salam, dan istishna’)
(2) Akad
sewa-menyewa (Ijarah dan ijarah muntahia bittamlik)
Natural uncertainty
contract adalah kontrak yang terjadi jika
pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets
maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko
bersama untuk mendapatkan keuntungan, contoh akad Natural Uncertainty Contract
adalah :
(1) Musyarakah,
terdiri atas wujuh, ‘inan, abdan, muwafadhah, mudharabah.
(2) Muzara’ah.
(3) Musaqah.
(4) Mukhabarah
[9]
Dalam
akad-akad di atas pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya
(baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak berdiri
sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak adaa
pertanggungan resiko bersama.
Economic value of time pada teori
percampuran
Natural uncertainty contracts/teori
percampuran adalah kontrak dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian
pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Tingkat return-nya bisa positif, negative maupun nol.
Kontrak-kontrak investasi ini secara
sunatullah tidak menawarkan :
1.
Return
yang tetap dan pasti
2. Sifatnya tidak fixed
dan predetermined.
Dalam
kontrak jenis ini, pihak pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya
(baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan
dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntugan. Dalam
kontrak demikian ini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Ada
beberapa asumsi yang digunakan dalam memformulasikan konsep EVT (economic value of time) yaitu :
1. Harta
harus berputar tidak boleh diam (idle)
2. Semakin
sering berputar maka harta akan berkembang.
3. Masa
depan tidak pasti hasilnya, dalam bisnis dapat menghasilkan keuntungan,
kerugian atau impas.
4. Return
bsnis atau usaha masa depan dapat diproyeksikan
5. Hasil
actual tidak selamanya sama dengan hasil yang diproyeksikan.[10]
Berdasarkan
hal diatas, maka dalam mekanisme investasi menurut islam persoalan nilai waktu
uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah titik dapat diterima.
Formula untuk menghimpun perkembangan harta yang diinvestasikan secara syariah
adalah sebagai berikut:
Harta Masa Depan (Hmd) = Modal Sekarang (Ms)+Pendapatan Investasi
(Pi)
Atau
Hmd
= Ms+Pi, dimana:
Penapatan
investasi (pi) = Modal
Sekarang (Ms) * Velocity Model (V) * Nisbah (Q) * Return Investasi (R)
Atau
Pi = Ms.V.(QR)
Jadi :
Hmd = Ms +
(Ms.V.Q.R)
Keterangan :
·
Hmd (harta masa depan) adalah harta yang
berkembang karena adanya aktivitas ekonomi pada periode tertentu.
·
Pi (pendapatan investasi) adalah
pendapatan yag diperoleh oleh pemilik modal dalam melakukan kontrak bagi hasil.
·
Ms (modal sekarang) adalah sejumlah uang
tertentu yang ditempat kan dibank dengan akad mudharabah atau yang dibayarkan dengan akad mudharabah/musyarakah. [11]
·
v (velocity
of capital/tingkat perputaraan atau pemanfaatan modal/harta) adalah tingkat
aktivitas pemilik dana dalam memutar dana dalam periode satu taun. Velocity of money dapat dihitung dengan
pendekatan cash to cash, yaitu dengan rumus : jumlah hari dalam satu tahun
(360) dibgai oleh lama persediaan (Day
Inventories) ditambah lama piutang (Day
Receivable) dan dikurangi lama uang dagang (Day Payable)
·
Q (nisbah bagi hasil) adalah rasio
presentase yang dibuat dan disepakati para pihak yang melakukan kontrak bagi
hasil. Nisbah pemilik dana dapat dihitung dengan rumus : keuntungan yang
diharapkan dibagi keuntungan actual dikali 100% (Expected return bisnis/actual return bisnis x 100%). Misalnya :
pemilik modal 40% dan pelaksana usaha 60%.
·
R (Return
Business) adalah keuntungan yang terjadi pada sector bisnis tertentu.
Oleh
karena itu jika teori time value of money
tidak boleh diterapkan dalamekonomi syariah, maka formula diatas dapat
digunakan. Sebab ekonomi syariah adalah ekonomi yang berbasis bagi hasil. Dalam
ekonomi bagi hasil, maka yang digunakan untuk mekanisme ekonoinya adalah nisbah
bagi hasil dan return usaha yang terjadi secara rill.
Economic
Value Of Time Pada
Teori Pertukaran
natural
certainty contracts/ teori pertukaran adalah kontrak dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu. Dalam bentuk ini;
1. Cash
flow nya pasti atau sudah disepakati di awal kontrak.
2. Objek
pertukarannya jugapasti secara jumlah, mutu, waktu, maupun harganya.
Penentuan
harga jual di dalam islam, tidak ada ketentuan bukunya. Namun berdasarkan ijtihadi dapat dirujuk bahwa fatwa
DSN-MUI NO.04/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan :
1. HARGA
BELI, dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang
kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan (Ps 1:6)[12]
2. HARGA
JUAL, BANK kemudian menjual barang tersebut kepada NASABAH (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli plus keuntungannya(Ps 1:6)
Dengan
demikian jelas,bahwa harga jual murabahah yang berlaku dibank syariah dapat
dirujukan pada fatwa No. 16/IX/2000. Penggunaan penentuan harga jual beli
tersebut selanjutnya dapat dijelaskan dengan melakukan analisis syariah sebagai
berikut : presentase keuntungan tidak boleh berjalan mengikuti waktu. Namun,
biaya dapat berjalan mengikuti waktu. Oleh karena itu rumus harga jual
murabahah sebagai berikut :
Harga jual bank = harga beli bank + (waktu*cost recovery)
+ %keuntungan
Symbol
formulasinya :
Hjb = HBb + (t * CR) + k
Dimana,
Hjb :
Harga Jual Bank
Hbb : Harga Beli Bank
t :
Waktu
CR :
Cost Recovery
k :
Margin keuntungan yang inginkan
Dengan penjalasan :
·
Harga jual beli adalah harga yang
disepakati antara penjual (bank) dengan pembeli (nasabah).
·
Harga beli adalah harga perolehan atau
nilai pasar yang didapat bank saat membeli produk tertentu, seperti mobil,
motor, dan sebagainya
·
Waktu adalah periode waktu yang
digunakan untuk peneyelesaian pembiayaan, misalnya pembiayaan 1 tahun 2 tahun
dan seterusnya.[13]
·
Cost recovery adalah nilai biaya yang
dikeluarkan bank untuk menyelesaikan pembiayaan.
·
Margin keuntungan adalah presentase
keuntungan yang diinginkan oleh penjual (bank) pada saat menjual produk
tertentu kepada pembeli (nasabah).
Uang Muka, Diskon, Dan Harga Jual
Harga
jual murabahah dibank syariah akan bisa berubah untuk satu calon nasabah dengan
calon nasbah yang lainya. Perubahan harga tersebut dapat dipegaruhi oleh :
1. Uang
muka (urbun) yang dibayarkan oleh calon nasabah saat pemesanaan
2. Diskon
yang diberikan oleh supplier kepada bank syariah
Ditegaskan
didalam fatwa DSN-MUI No.16/IX/2000, menyatakan kaitanya dengan masalah uang muka dalam jual-beli,bank dibolehkan
meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanaan. (Ps. 2:4)
Berdasarkan
landasan diatas maka harga jual beli dalam bank syariah akan mengalami perubahan
yaitu harga yang harus dipartisipasikan oleh pihak bank. Tidak ada ketentuan
tentang besarnya uang muka yang harus disertakan oleh calon nasabah. Maka:[14]
Harga jual bank = (harga beli bank
– uang muka nasabah) + (waktu *cost recovery) + %keuntungan
Atau
Hjb = (HBb –
UMn) + (t *CR) + k
Dimana :
Hjb = harga
jual beli
HBb = harga beli
UMn = uang muka nasabah
(urbun)
t =
waktu
CR =
cost recovery
k =
margin keuntungan yang diinginkan
Jika
dalam jual beli murabahah bank syariah mendapat diskon dari supplier, harga
sebenarnya adalah harga setelah diskon. Oleh karena itu diskon adalah hak
nasabah (Ps1:3, fatwa No. 16/2000). Maka harga jual murabahah adalah:
HJb =(HBb – D –UMn) + (t *
CR) + k
Dimana
:
HJb = harga jual beli
HBb = harga beli
UMn = uang muka nasabah
(urbun)
D
= diskon dari supplier
t = waktu
CR
= cost recovery
k
= margin keuntungan yang
diinginkan
Jika
pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan
berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat dalam akad. (Ps 1:4, fatwa
No.16/2000), maka harga jual murabahah :[15]
HJb ={(HBb – UMn) + (t * CR)
+ k}
Dimana
:
Hjb = harga jual beli
HBb = harga beli
UMn = uang muka nasabah
(urbun)
t = waktu
CR
= cost recovery
k
= margin keuntungan yang
diinginkan
Apabila
diskon diberikan setelah akad atau realisasi pembiayaan, maka pembagian diskon
tidak ada kaitanya dengan harga jual beli. Sehingga pembiayaan diskonnya
dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama. Misalnya: bank mendapatkan 50% dan
nasabah 50% dari diskon yang diberikan oleh dealer atau penjual, maka :[16]
Diskon untuk Bank (Db) =
50% X nominal diskon (ND)
Diskon untuk nasabah (Dn)
= 50% X nominal diskon (ND)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa konsep time value of money dilatarbelakangi oleh adanya
anggapan hilangnya pemilik modal akan biaya kesempatan (opportunity cost), pada
saat ia meminjamkan uang kepada pihak lain, sehingga pemilik modal membebankan
nilai presentase tertentu sebagai kompensasinya kepada peminjam. Anggapan kalau
uang dipinjamkan akan mengalami hilangnya biaya kesempatan dapat disanggah,
sebab uang yang tidak dipinjamkan dan kemudian diinvestasikan, tidak selamanya
investasi dapat dipastikan memberikan keuntungan kepada pelaku investasi.
Kalaupun mendapatkan keuntungan, tidak selamanya keuntungan investasi sama
jumlahnya dari waktu kewaktu. Dalam investasi akan mengalami kemungkinan hasil:
untung, rugi dan impas.
Pandangan islam tentang waktu, bahwa
waktu bagi semua orang sama kuantitasanya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari
dalm sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan yang lainnya, akan berbeda
dari sisi kualitasnya. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana
seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien
(tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan
mendatangkan keuntungan didunia bagi siapa saja yang melaksanakannya. Oleh
karena itu siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama, dan ras, secara
sunnatullah, ia akan mendapatkan keuntungan didunia.
B.
Saran
Kami sebagai penulis menyadari makalah yang
telah kami susun masih jauh dari keta sempurna. Maka dari itu kritik serta
saran dari pembaca sangat kami butuhkan untuk melengkapi makalah yang telah
kami susun.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad.
2014. MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH Analisis Fiqh dan Keuangan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
[1] Muhamad,
MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH Analisis Fiqh dan Keuangan, Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2014. hlm. 156
[2] Ibid, hlm. 157
[3] Ibid, hlm. 158
[4] Ibid, hlm. 159
[5] Ibid, hlm. 160
[6] Ibid, hlm. 161
[7] Ibid, hlm. 162
[8] Ibid, hlm. 164
[9] Ibid, hlm. 167
[10] Ibid, hlm. 168
[11] Ibid, hlm. 169
[12] Ibid, hlm. 169
[13] Ibid, hlm. 170
[14] Ibid, hlm. 171
[15] Ibid, hlm. 172
[16] Ibid, hlm. 172